Breaking News

Khutbah jum'at: "Mengatasi Kemiskinan"

Ya Ayyuhalladziina Aamanuu anfiquu mimmaa rozaqnaakum min qobli an ya? tiya yawmun laa bai?un fiihi walaa khullatun walaa syafaa? ah. Walkaafiruuna humudzhoolimuun? ?Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah di jalan Allah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa?at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dzalim. (QS.Al-Baqarah:254). Al-Kisah I Antrean itu masih panjang. Ibu-ibu paruh baya, nenek- nenek dan lelaki tua berdesak-desakkan. Mereka dengan setengah sabar menanti Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dibagikan pemerintah kepada orang miskin di berbagai wilayah tanah air. Sementara itu, ibu- ibu tengah menyuapi makanan sumbangan dari berbagai pihak terkait dengan balita kurang gizi. Dalam waktu yang bersamaan, puluhan bahkan ratusan pengemis disertai anak-anak jalanan menyerbu jalan-jalan di berbagai kota. Mereka menengedahkan tangan meminta-minta. Sebuah kisah di atas merupakan potret ilustrasi sebuah ?kemiskinan? yang tengah terjadi di tanah air. Kemiskinan yang terlihat secara terbuka ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan bagian dari pembangunan yang tengah gencar dilakukan pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam rapat paripurna DPR 16 Agustus lalu mengakui bahwa kemiskinan itu ada di negara ini, yang konon akrab di telinga dengan sebutan ? gemah ripah loh jinawi?. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2006, jumlah orang miskin saat ini adalah 39,05 juta (atau 17,75 % dari total penduduk 222 juta jiwa). Jumlah ini naik 3,9 juta orang dari Februari 2005 yang sebanyak 35,10 juta orang (15,97 %). Terlepas dari autentik atau tidaknya data ini, aktual atau tidaknya, paling tidak telah memberikan satu gambaran betapa telah merebaknya kemiskinan dan kemelaratan yang tidak terkendali dari masa ke masa. Al-Kisah II Beban ekonomi pasangan Jasih (30 tahun) dan Mahfud (32 tahun) makin berat. Mahfud yang hanya bekerja sebagai kuli serabutan tidak cukup kuat menopang kehidupan keluarga yang tinggal di Desa Putat, Sedong, Kabupaten Cirebon, itu. Jasih yang sedang hamil seolah tidak punya jalan keluar dari beban akut hidupnya. Hingga pada akhirnya, 17 Desember 2004, Jasih nekad membakar diri dan kedua anaknya, Galang (7 tahun) dan Galuh (4,5 tahun).(Republika, 11 Oktober 2006) Jasih hanyalah satu dari sekian banyak manusia yang memilih mengakhiri hidupnya lewat bunuh diri. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mencatat, setiap tahun 873 ribu orang di dunia memutuskan mengakhiri persoalan hidupnya lewat jalan pintas berupa bunuh diri. In Japan: More than 30 thousand people ended their lives by doing the suicide. Di Jepang, lebih dari 30 ribu orang setiap tahun mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Persoalan mental menjadi penyebab utamanya. Di Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober setiap tahun, WHO pun merilis data terakhir soal fenomena bunuh diri di dunia. ?More than 90 percent suicide cases were caused by mentality sickness, schizophrenia, and the others?, Dr.Benedetto Saraceno, the Chief of Mentality Health of World Health Organization (WHO) said in a press interview. ? Bahwa lebih dari 90 persen kasus bunuh diri terkait dengan sakit mental seperti depresi, schizophrenia dan sebagainya, sebagaimana yang diutarakan Dr.Benedetto Saraceno, direktur bagian kesehatan mental WHO dalam sebuah wawancara media massa. Dari berita ini, dapat kita tarik satu kesimpulan, betapa kesusahan hidup menjadi satu ancaman yang mengerikan. Orang-orang miskin yang lemah imannya, menjadikan bunuh diri sebagai jalan pintas untuk mengakhiri krisis kehidupan yang mereka pikir tidak akan berujung pada pemulihan yang pasti. Yang mana sesuap nasi perhari adalah hal yang tidak lagi mudah untuk mencarinya, hingga keputusasaan menjadi pernik-pernik yang mewarnai psikologis dirinya. Disaat perut mereka, yang hidup di bawah garis kemiskinan, merintih menahan lapar dan dahaga, disaat itu pula elit politik bertikai, menuding satu sama lain sebagai biang kehancuran bangsa. Di saat anak-anak bangsa ini harus putus sekolah di tengah gejolak krisis moneter yang berkepanjangan, disaat itu pula anggota DPR perang nafsu mempermasalahkan gaji ke-13. Sementara tingginya angka anak-anak yang putus sekolah, menjanjikan besarnya angka pengangguran di kemudian hari, dan akibatnya, tidak mustahil semakin melebarkan space of poorness (ruang kemiskinan) dalam jangka waktu yang tak terhingga. Faktor-Faktor Kemiskinan Kemiskinan memang merupakan hal yang kompleks dan multidimensi. Setidaknya ada beberapa faktor penyebab kemiskinan itu. Pertama, faktor alam. Ini terlihat di propinsi NTT, NTB dan beberapa daerah di Jawa. Di wilayah tersebut tanam- tanaman kerap gagal panen karena curah hujan yang minim, diterpa angin dan badai atau akibat curah hujan dengan durasi yang cukup lama serta serangan hama. Kedua, faktor himpitan globalisasi ekonomi pasar bebas dan kapitalisme sebagai panglimanya. Fenomena ini telah merangsek kehidupan petani, sehingga memperdalam jurang kemiskinan dan mempercuram terjalnya lereng-lereng kemelaratan. Mekanisme pasar bebas mendikte warga dengan harga-harga produk pertanian yang tidak menentu. Sehingga acap kali terjadi impor beras besar-besaran, sementara petani dengan jerih payah dan cucuran keringatnya tidak diberi kehormatan sedikitpun akan hasil-hasil panen yang telah diketamnya. Dan lebih tragisnya lagi, rakyat seolah dibiarkan berjuang sendirian menghadapi tembok raksasa yang kemaruk yang bernama ?pasar bebas? dan himpitan globalisasi ekonomi. Ketiga, faktor korupsi. Korupsi yang bagaikan penyakit kanker yang mengganas dan berlapis serta telah merasuk ke seluruh sendi kehidupan bangsa, telah membuat peredaran uang tidak normal dan pemanfaatannya pun tidak untuk kemashlahatan umum, sehingga hal itu memperparah kemiskinan, bahkan telah membuat jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar. Keempat, faktor pemanfaatan terhadap keberadaan dan fenomena kaum miskin itu sendiri. Realitas kemiskinan dan keberadaan kaum miskin sering dijadikan sebagai ladang empuk untuk mendapatkan keuntungan (profit oreinted) dan sumber rezeki (income source). Eksistensi mereka dijadikan sebagai objek perjuangan ekonomi, sosial, dan politik oleh sekelompok elit. Artinya, keberadaan mereka dilanggengkan sedemikian rupa untuk memuluskan penyaluran dana sosial, ekonomi dan politik. Maka tidak heran, kemiskinan terkadang dipelihara untuk dijadikan senjata pamungkas bagi lawan-lawan politik yang haus kekuasaan untuk mengkudeta sebuah rezim yang sedang berkuasa. Kelima, faktor kesalahan pemerintah dalam menerapkan kebijakan politik ekonominya. Pemerintah selama ini lebih menekankan pertumbuhan ekonomi, namun melupakan pemerataan yang bersendikan keadilan sosial. Ini yang memperlihatkan betapa yang kaya bertambah kaya, sedangkan yang miskin bertambah miskin. (Thomas Koten/Media Indonesia/2006). Solusi Islam Cendikiawan timur tengah terkemuka, DR.Yusuf Qardhawi, dalam karyanya yang berjudul ? Musykilatul Faqri wa Kaifa ? aalajahal Islam?, telah menyebutkan usaha-usaha yang digariskan oleh Islam dalam mengatasi kemiskinan. Ada lima usaha yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan tersebut. Pertama: Meningkatkan Etos Kerja. Bekerja merupakan satu wasilah (media) untuk menjemput rezeki yang telah disediakan Allah SWT, bahkan kalau perlu (urgent), seorang muslim perlu berpetualang (berhijrah) dalam mencari rezeki yang halalan thoyyiban. Dalam hal ini Allah swt berfirman: ?Huwalladzi ja?ala lakumul ardho dzaluulan famsyuu fii manaakibiha wa kuluu min rizqihi wa ilaihin nusyuur?(QS.Al Mulk:15) ? Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNyalah kamu kembali setelah dibangkitkan?. Di dalam buku yang sama, DR.Yusuf Qardhawi menyatakan: ? Bekerja adalah senjata utama untuk memerangi kemiskinan, modal asas dalam mencapai kekayaan dan faktor dominan dalam menciptakan kemakmuran dunia?. Ini mengandung makna bahwa seseorang muslim itu harus memiliki ilmu dan ketrampilan yang memadai, agar dia dapat bekerja dan membuka peluang pekerjaan serta melahirkan semangat pada dirinya untuk bekerja. Berkaitain dengan ayat diatas, Syeikh DR.Umar Ad-Daib, ulama dari Universitas Al Azhar, Kairo, mengutip tafsiran: ?Pergilah kamu sekalian ke tempat manapun yang kamu inginkan di penjuru dunia ini, dan kunjungilah berbagai daratan dan datarannya, untuk kamu dapatkan beragam perolehan keuntungan dan perdagangan, akan tetapi ketahuilah bahwa usaha ini tidaklah berbuah hasil apapun kecuali Allah memberi kemudahan bagimu?. Maka dari itu, Allah mengakhiri ayat ini dengan: ? wa ilahin-nusyuur? (Dan hanya kepadaNya-lah kamu kembali). Sebuah kaidah mengatakan: ?As-Sa?yu fis- sabab la yunaafi at- tawakkul? ;?Bahwa usaha untuk menangkal sebab tidak menafikan peran tawakal?. Kaidah ini selaras dengan hadits nabi: ?Law annakum tatawakkaluuna ?alallahi haqqa tawakkulih larazaqakum kamaa yarzaqu ath-thaira taghduu khimaason wa taruuhu bithoonan?; ?Jika kamu sekalian tawakal (berserah diri pada Allah) dengan sebenar-benarnya tawakal, maka Dia akan memberi rezeki untukmu, sebagaimana Dia memberi rezeki seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar saat fajar menyingsing dan pulang di senja hari dalam keadaan kenyang?. Hadits ini menjadi landasan deskriptif bahwa seekor burung yang dianugerahan sepasang sayap, tetap harus pergi dan pulang untuk menjemput rezekinya, maka begitulah hakikat tawakal sesungguhnya. Dengan demikian, maka tawakal kepada Allah memiliki arti: usaha demi menuntut rezeki dan senantiasa meyakini bahwa semua itu terpulang pada kehendakNya. Kedua: Membantu Keluarga yang Lemah Keharusan anggota keluarga yang lain untuk menyediakan keperluan anggota keluarganya yang lemah adalah sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur?an; ?Wa aati dzal qurba haqqahu wal miskiina wabnas-sabiili walaa tubadz-dzir tabdziiraa?; ?Dan berikanlah kepada keluarga- keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur- hamburkan hartamu secara boros.? (QS.Al-Isra?:26). Mengutamakan sanak keluarga dan kerabat dekat yang masih hidup dalam belenggu kesulitan ekonomi, adalah hal yang terpuji, dan besar ganjarannya di sisi Allah swt. Sebagaimana rasulullah saw bersabda: ?Diinarun anfaqtahu fi sabiilillah, wa diinarun anfaqtahu li roqobah, wa diinarun tashoddaqta ?ala miskiin, wa diinarun anfaqtahu li ahlik, a?dzhomu ajran, anfaqtahu li ahlik?;?Harta yang kamu infakkan di jalan Allah, dan harta yang kamu sisihkan untuk memerdekakan budak, dan harta yang kamu sedekahkan untuk orang- orang miskin, serta harta yang kamu nafkahkan untuk keluargamu (anak, istri dan kerabat dekatmu yang terbelit kemiskinan); yang paling besar ganjarannya di sisi Allah adalah yang kamu nafkahkan untuk keluargamu. Maka, dahulukan keluarga dan kerabat dekat yang membutuhkan, sebagai sasaran untuk bersedekah. Mari kita jeli menggunakan priority scale (skala prioritas) dalam beramal shalih dalam rangka meraih mardhotillah (keridhaan Allah). Ketiga: Zakat Zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh Muslim. Kewajiban zakat sama kedudukannya dengan kewajiban shalat. Dalam banyak ayat dan hadits, perintah shalat acap kali bersanding dengan perintah zakat, yang bertujuan bahwa tidak sempurna keislaman seorang muslim tanpa menunaikan kedua-duanya. Zakat tidak hanya digunakan untuk memenuhi keperluan yang bersifat asasi saja, karena dengan demikian para faqir miskin akan hanya menggantungkan nasibnya pada zakat. Maka dana zakat itu, boleh juga disalurkan sebagai beasiswa untuk membiayai pendidikan bagi orang-orang yang miskin dan modal bagi suatu perniagaan yang hendak mereka jalankan. Maka dengan demikian kita tidak hanya memberi ?ikan? secara utuh pada yang membutuhkan, namun memberikannya kail dan umpan di ujung mata pancing-nya. Zakat dapat dikelola oleh mesjid-mesjid, yang mempunyai peranan besar bagi terciptanya masyarakat yang berkompeten pada amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana yang ada pada negeri-negeri timur tengah, dimana mesjid tidak dijadikan persinggahan untuk sujud dan ruku? saja, namun diintensifkan juga untuk hal- hal yang bersifat implementatif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat berupa terbentuknya lajnah-lajnah zakat yang dikelola oleh takmir-takmir masjid yang bertanggungjawab. Keempat: Dana Bantuan Perbendaharaan Islam (Baitul Maal) Oleh sebab itu, kekayaan-kekayaan umum pada sebuah negara harus diarahkan untuk mengatasi kemiskinan dan tidak boleh dikuasai oleh segolongan orang untuk kepentingan mereka saja. Sebagaimana yang terjadi pada zaman khalifah Abu Bakar Ash- Shiddiq dan Umar bin Abdul Aziz, dimana baitul maal betul-betul menjadi anggaran kas negara yang diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang-orang yang kenyang namun serakah. Kelima: Keharusan Memenuhi Hak Selain Zakat. Seperti dalam hal: 1) Hubungan bertetangga yang apabila mereka miskin, maka wajib membantunya. Dalam hal ini rasulullah saw bersabda: ?Tidak patut dinamakan beriman, orang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya dalam keadaan merintih kelaparan, sedangkan ia mengetahuinya?. (HR.Tabrani dan Baihaqi). 2) Pembagian daging kurban bagi mereka yang miskin. 3) Kaffarah melanggar sumpah, sebagaimana firman Allah swt: ?Fakaffaratuhu ith? aamu ?asyarotu masaakiin min awsathi ma tuth?imuun ahliikum aw kiswatuhum aw tahriiru roqobah?;?Maka kafarah (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak? (QS.Al-Maidah:89). 4) Fidyah, dengan memberikan makan seorang miskin sebagai ganti puasa satu hari bagi mereka yang tidak berpuasa dengan sebab sakit yang berkepanjangan, tua dan sebagainya. 5) Sedekah dan kebajikan individu lainnya seperti wakaf dan hibah, dsb. Allah swt berfirman:? Yamhaqullahu riba wa yurbi shadaqaat?; ?Allah membinasakan riba dengan kerugian, dan melipatgandakan sedekah, (baik harta maupun pahalanya)? Demikianlah solusi Islam dalam memecahkan persoalan kemiskinan dan keruwetan ekonomi bangsa, yang insya Allah, dengan merealisasikan hal-hal ini dalam keseharian, sehingga dapat menimalisir kuantitas kemiskinan, dan menjadikan mereka yang hidup dibawah standar kehidupan yang wajar, dapat kembali menemukan keserbakecukupan dan kesejahteraan dan kelak menjadi orang-orang yang sanggup berinfak dan bersedekah di jalan Allah?. Allahu musta?aan ?ala ibaadihi al-muhtaajiin. Allahu A?lam bish-shawab?

Tidak ada komentar

Jika ada pertanyaan, sekedar sharing pendapat, dll, Silakan Isi komentar di bawah ini: